IPK membawa kerja apa iya?


IPK (Hanya) Membawa sampai Wawancara Kerja... Apa Iya?

"Duh gimana ya, IPK gue sampe semester tujuh ini jelek nih."
"Halah santai, IPK itu cuma ngebawa kamu sampe wawancara kerja, setelah itu yang penting life skill."
"Terus aku harus gimana?"
"Banyak-banyakkin life skill, berorganisasi, dan belajar dibawa santai aja."

*

Di umur 21an, di mana bagi 1996line dengan daya tempuh pendidikan normal, seharusnya tahun ini bakal menjadi tahun wisuda angkatan ini. tapi, semakin mendekati gerbang kelulusan, saya semakin khawatir dengan indoktrinasi semacam, "IPK membawamu hanya sampai wawancara kerja."

Beberapa teman saya seringkali mengatakan ini, di luar sana pun saya yakin juga iya. Lalu, pernah sekali saya berdiskusi mengenai topik ini ke teman saya yang notabene IPK-nya tidak terlalu baik, organisasinya biasa saja, dan dia akui bahwa lifeskillnya lemah.

"Kok aku ngerasa minder ya, orang bilang kalo IPK cuma ngebawa sampe wawancara kerja, setelah itu yang penting life skill. Mereka bilang cuma, cuma, dan cuma. Kalo IPK-ku aja gak sampe yang disyaratin, gimana mau nunjukkin life skill?"

Waktu itu saya mikir, "Ah iya bener juga ya."

"Makanya, aku selalu agak-agak sakit ketika orang bilang, IPK cuma ngebawamu sampe wawancara kerja. Mereka gak tahu sih apa yang 'kami' rasakan dalam pengejaran IPK. Beberapa orang mungkin bisa dan gampang dapet IPK tinggi, tapi apa boleh bilang gitu dihadapan kami?"

"Mungkin maksudnya mau ngehibur kamu itu."

"Aku gak pernah terhibur dengan pembicaraan semacam itu. Ngerasa apa nggak, mereka kayak mendeskriditkan orang-orang ber IPK rendah dengan life skill biasa aja, merendahkan diri hanya untuk dianggap iba, dan yang pasti... mereka gak tahu bagaimana cara kami memandang nasib kami."

Setelah itu, dan selama ini saya terus mencoba membangun konstruksi yang bersih mengenai dunia akademik dan non akademik. Wabilkhusus akademik, akan ada beberapa orang yang saling berseberangan: yang lulus cepet dengan yang lulus lama; yang IPK summacumlaude dengan yang IPK summadropout; yang juara KTI dimana-mana dengan yang bikin latar belakang aja susahnya setengah mati; yang bikin skripsi cus-cus ngalir dengan yang tersendat di penggunaan "di" yang dipisah atau yang disambung. Akan selalu ada dikotomi-dikotomi seperti itu.

Lalu, saya bertanya lagi pada dirinya, "Terus, menurutmu harusnya gimana?"

Dia tersenyum kecut, "Aku pikir hal baik dari menyemangati seseorang yang jatuh bukan dengan menghiburnya lewat retorika, bilang IPK sampai hanya wawancara kerja dan persyaratan lulus administrasi kepada kami seolah-olah berkata bahwa kami tidak akan lulus administrasi dan sampai wawancara kerja. Aku pikir, orang-orang seharusnya bisa mengubah paradgima, bahwa IPK tidak sesempit itu, tidak sekerdil dan seremeh-temeh itu."

Saya sepakat.
Begini, jujur saya adalah seorang yang sama sekali tidak menyukai fisika dan matematika, kalau kata orang jawa, nggateli. Padahal orang tua saya begitu kental dengan darah dua mata pelajaran itu, ibu saya akuntan, bapak saya teknik sipil. Tapi yang mengalir dalam darah diri saya adalah sebatas "ketertartikan" pada film-film bergenre matematika dan fisika. Nilai di kedua pelajaran itu pada Ujian Nasional saja, sangat-sangat cukup (kalau tidak mau dibilang buruk), keduanya dibawah lima.

Tapi, mungkin saya sepakat dengan apa yang dikatakan guru Martin dalam film A Brilliant Young Mind, "Matematika itu bukan hanya sebatas angka-angka, ia adalah konstruksi kehidupan, bagaimana cara logika kita berjalan lewat susunan rumus dan angka-angka."

Begitupun dengan IPK, saya pikir ia tidak hanya sebatas sampai wawancara kerja atau angka dengan beberapa angka di belakang koma, tidak juga hanya sebatas daya rekam ingatan seperti apa yang dibilang Najwa, tidak juga sebagai education abuser. Mau IPK tinggi atau rendah, seharusnya ia adalah konstruksi kehidupan, dari indeks kumulatif (saya enggan menyebut kepanjangan dari 'p'nya) kita belajar tentang perjuangan (meskipun ia hanya sebatas mengingat), bahwa lebih baik lembur mengingat ketimbang menyontek; kita belajar tentang penghargaan pada uang dan waktu; jatuh bangun belajar hanya untuk bilang ke diri sendiri, "Saya tidak bodoh, saya tidak bodoh!".

Sebagai manusia, sepatutnya kita tahu bagaimana menyelami perasaan hati seseorang.

edit 9 Januari.
terima kasih teman teman atas apresiasi dan komentar, masukan dan pandangannya, maaf tidak bisa dibalas satu per satu. Saya tahu akan ada berbeda pandangan antara kita, tapi poin dari tulisan ini, "Kita semua adalah manusia, akan selalu ada jukstaposisi/keterbalikan dari setiap manusia: kebaikan dan keburukan misalnya. Saya menekankan untuk tidak menyebar paradigma yang buruk kepada orang yang mungkin saja mengalami keburukan. Rangkul dia, motivasi dengan cara yang benar, dan bersamai dia dalam perjuangan, kalau tidak bisa sebaiknya kita doakan dia yang terbaik." ;)

Source : akun line Ghiyats Ramadhan
https://timeline.line.me/post/_dUrizX2Y8EkYcpN0kmQievrcuaOF5nDjIpSjT88/1154889280503081367

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bacaan Doa tahiyad akhir🙏

doa membuka dan menutup mata batin

MPFC